Senin, 16 Juli 2012

Mengenal Lebih Dekat Ulama Besar Banten, Abuya Dimyati

KH.Muhammad Dimyati merupakan sosok Ulama Banten yang memiliki karismatik. Lahir di Banten sekitar tahun 1925, Sejak kecil anak pasangan dari H.Amin dan Hj.Ruqayah. sudah menampakan kecerdasan dan keshalihannya, masa mudanya nyaris dihabiskan untuk menimba ilmu keislaman dari pondok pesantren ke pondok pesantren, mulai dari Pondok pesantren Cadasari, Kadupeseng, Pandeglang, Plamunan hingga ke Pleret Cirebon.

KH Muhammad Dimyati yang lebih akrab dipanggil dengan sebutan Buya Dimyati ini tergolong ulama sholeh, tawadhu dan istiqomah melakukan syiar Islam di ranah Banten, selain mengajarkan ilmu syari'ah, beliaupun menjalankan kehidupan dengan metode bertashauf.

Buya Dimyati adalah penganut tarekat Naqsabandiyyah Qodiriyyah. wajar jika dalam perilaku sehari-hari beliau penuh tawadhu',zuhud dan ikhlas. Banyak pihak yang mencoba mempublikasikan seputar kegiatannya di pesantren, akan tetapi selalu di tolaknya dengan halus, bahkan ketika para ingin memberikan sumbanganpun, Buya Dimyati kerap menolak dan mengembalikan sumbangan tersebut.

Pernah suatu saat Buya Dimyati diberi sumbangan Oleh Mbak Tutut ( Anak Mantan presiden Soeharto) sebesar 1 milyar, beliau menolak dengan halus dan mengembalikan uang tersebut.

Pondok pesantren di desa Cidahu Pandeglang yang dirintisnya sejak tahun 1965, telah banyak melahirkan ulama-ulama besar yang meneruskan perjuangannya dengan membangun dan mendirikan pondok pesantren di daerahnya masing-masing, salah satunya adalah Habib Hasan bin ja'far assegaf, pimpinan Majlis Nurul Musthofa di Jakarta.

Abuya berguru pada ulama-ulama sepuh di tanah Jawa. Di antaranya Abuya Abdul Chalim, Abuya Muqri Abdul Chamid, Mama Achmad Bakri (Mama Sempur), Mbah Dalhar Watucongol, Mbah Nawawi Jejeran Jogja, Mbah Khozin Bendo Pare, Mbah Baidlowi Lasem, Mbah Rukyat Kaliwungu dan masih banyak lagi. Kesemua guru-guru beliau bermuara pada Syech Nawawi al Bantany. Kata Abuya, para kiyai sepuh tersebut adalah memiliki kriteria kekhilafahan atau mursyid sempurna, setelah Abuya berguru, tak lama kemudian para kiyai sepuh wafat.

Ketika mondok di Watucongol, Abuya sudah diminta untuk mengajar oleh Mbah Dalhar. Satu kisah unik ketika Abuya datang pertama ke Watucongol, Mbah Dalhar memberi kabar kepada santri-santri besok akan datang 'kitab banyak'. Dan hal ini terbukti mulai saat masih mondok di Watucongol sampai di tempat beliau mondok lainya, hingga sampai Abuya menetap, beliau banyak mengajar dan mengorek kitab-kitab.

Di pondok Bendo, Pare, Abuya lebih di kenal dengan sebutan 'Mbah Dim Banten' dan mendapat laqob 'Sulthon Aulia', karena Abuya memang wira'i dan topo dunyo. Pada tiap Pondok yang Abuya singgahi, selalu ada peningkatan santri mengaji dan ini satu bukti tersendiri di tiap daerah yang Abuya singgahi jadi terberkahi. Karomah.

Ada banyak cerita tak masuk akal dalam buku ini, namun kadar "gula-gula" tidaklah terasa sebab penitikberatan segala kisah perjuangan Abuya lebih diambil dari orang-orang yang menjadi saksi hidupnya (kebanyakan dari mereka masih hidup) dan dituturkan apa adanya. Abuya memang sudah masyhur wira'i dan topo dunyo semenjak masih mondok diusia muda.

Di waktu mondok, Abuya sudah terbiasa tirakat, tidak pernah terlihat tidur dan istimewanya adalah menu makan Abuya yang hanya sekedar. Beliau selalu menghabiskan waktu untuk menimba ilmu, baik dengan mengaji, mengajar atau mutola'ah. Sampai sudah menetap pun Abuya masih menjalankan keistiqamahannya itu dan tidak dikurangi bahkan ditambah.

Di tahun 1999 M, dunia dibuat geger, seorang kiai membacakan kitab tafsir Ibnu Jarir yang tebalnya 30 jilid. Banyak yang tidak percaya si pengajar dapat merampungkannya, tapi berkat ketelatenan Abuya pengajian itu dapat khatam tahun 2003 M. Beliau membacakan tafsir Ibnu Jarir itu setelah Khatam 4 kali khatam membacakan Tafsir Ibnu katsir.

Salah satu cerita karomah yang diceritakan Gus Munir lagi adalah, di mana ada seorang kyai dari Jawa yang pergi ke Maqam Syeikh Abdul Qadir al-Jailani di Irak. Ketika itu, kyai tersebut merasa sangat bangga kerana banyak kyai di Indonesia paling jauh mereka ziarah adalah maqam Nabi Muhammad SAW. Akan tetapi dia dapat menziarahi sampai ke Maqam Syeikh Abdul Qadir al-Jailani.

Ketika sampai di maqam tersebut, maka penjaga maqam bertanya padanya, "darimana kamu (Bahasa Arab)". si Kyai menjawab, dari Indonesia. maka penjaganya langsung bilang, oh di sini ada setiap malam Juma'at seorang ulama Indonesia yang kalau datang ziarah dan duduk saja depan maqam, maka segenap penziarah akan diam dan menghormati beliau, sehinggalah beliau mula membaca al-Qur'an, maka penziarah lain akan meneruskan bacaan mereka sendiri2.

Maka Kyai tadi kaget, dan berniat untuk menunggu sampai malam jumaat agar tahu siapa sebenarnya ulama tersebut. Ternyata pada hari yang ditunggu-tunggu, ulama tersebut adalah Abuya Dimyati. Maka kyai tersebut terus kagum, dan ketika pulang ke Jawa, dia menceritakan bagaimana beliau bertemu Abuya Dimyati di maqam Syeikh Abdul Qadir al-Jailani ketika itu Abuya masih di pondok dan mengaji dengan santri-santrinya.

Mahasuci Allah yang tidak membuat penanda atas wali-Nya kecuali dengan penanda atas diri-Nya. Dan Dia tidak mempertemukan dengan mereka kecuali orang yang Dia kehendaki untuk sampai kepada-Nya. (al Hikam) Wallahu a'lam (End/wel)

Tidak ada komentar: