Jumat, 09 Maret 2012

Published with Blogger-droid v2.0.4

Rabu, 04 Januari 2012

SABAR ITU ADA BATASNYA

Saat berbincang dengan ibu tukang tahu didipan toko. Kata ibu itu "sabar itu ada batasnya"
Aku kaget. Hanya terkejut dalam hati. Mengatakkan pada hati “Ha?!?! Sabar itu ada batasnya?”.saya bingung memikirkan perkataan ibu itu tersebut. Padahal, yang kutahu sabar itu tak terbatas! tak ada batas..! Itulah yang kukencamkan dalam diriku selama ini sejak kecil. Sabar tak ada batasnya!! Iyah, tak ada batas..

Akhirnya, dari pada hati ini tak tuntas memikirkan hal ini. Aku langsung bertanya di ßß♏ dan YM. Sahabat pasti tau ya..  Aku bertanya “Apakah sabar itu ada batasnya?” Lalu, mereka menjawab dengan jawaban mereka masing2.Mungkin tak semua tapi semoga ini bisa menjadi sesuatu buatmu mengenai kesabaran mempunyai batas atau tidak.?

Aku percaya dengan jawaban teman-teman saya yang ada di ßß♏ dan YM. Mereka juga memberikan jawaban yang memuaskan untuk saya. Dan beserta dalilnya. Huah, akhirnya kebingungan ini bisa dituntaskan dengan waktu sekejap saja. Karna perkembangan zaman dan teknologi yang makin canggih. Pokoknya pergunakanlah internet sebagai tempat dirimu belajar, memahami, mengetahui. Yang lebih penting lagi jadikkan internet itu untuk berdakwah serta memperdalam ilmu syar’i. 

Lanjut. Inilah jawabannya yang sudah kurangkup menjadi sebuah jawaban atas semua ini… 

Sabar sesungguhnya merupakan salah satu ajaran Islam yang agung, namun sangat berat. Bersabar untuk marah, bersabar menahan amarah, bersabar untuk selalu istiqamah menapaki ajaran Islam sesuai dengan sunnah Nabi shallallâhu ‘alaihi wasallam dan para sahabat, bersabar untuk tidak tergesa-gesa, bersabar untuk tidak menyimpang, bersabar untuk menjauhi larangan, maupun bersabar menerima musibah dari Allâh Ta’âla, semuanya merupakan perkara yang berat. Itulah sebabnya, orang yang sabar pasti selalu disertai oleh Allâh Ta’âla.

“Dan bersabarlah, sesungguhnya Allâh beserta orang-orang yang sabar.” (QS Al Anfal : 46)

Masih belum menemukkan sebuah jawaban.. Akupun terdiam, mengingat-ingat sesuatu. Ohh!.. Iyah, SABAR.!! sabar yang slalu diucapkan oleh guru ngaji waktu di depok dulu . Aku ingat beliau mengatakan sesuatu

“assobru minal iman….” yang artinya–>  (Sabar adalah sebagian dari iman)
Terketuk sesuatu, kamu orang beriman kah?.. Jika jawabanmu “Iya” kamu beriman. Maka bersabarlah. Tapi jika memang kamu ndak beriman dan menjawab kamu “tidak” beriman. Maka.. Entahlah jawaban ada dimasing-masing.

Sudahi.. Sudahi mengingat yang lalunya. Kembali kejawaban teman saya tantang sabar. Ia menjawab : Orang bilang, “sabar ada batasnya”, “habis kesabaranku”, “sesabar-sabarnya orang, akhirnya tak tahan juga”. Apa atau dimanakah sebenarnya batas kesabaran yang dibenarkan dalam Islam? Apakah perkataan yang demikian itu dibenarkan dalam Islam?

Saat Rasûlullâh shallallâhu ‘alaihi wasallam marah ketika mendapatkan kekeliruan besar yang dilakukan oleh sebagian sahabat, apakah berarti beliau telah kehabisan kesabarannya? Tentu saja tidak. Begitu pula ketika beliau shallallâhu ‘alaihi wasallam harus bangkit melakukan perlawanan terhadap musuh atas izin dan perintah Allâh Ta’âla. Justru hal itu merupakan salah satu bentuk pendidikan kesabaran yang paling berharga.

Jawaban itu memuaskan..  Tapi, masih ada yang mengganjal dihati ini.. Masih ada banyak jawaban yang bisa kupilih. Pada dasarnya jawaban itu tetap sama lho..!

Sabar ada batasnya. Yakni sampai tanah msuk kedlm perut alias “mati”
Klo msih hdup, sabar ga ada batasnya. Dan Mati adalah pemutus segala Amal (Sabar).

Aku terkesima dengan jawaban yang di atas itu. Iyap!! Sabar ada batasnya. Sampai engkau mati alias tidak hidup. Tapi apakah yang berbicara “sabar itu ada batasnya” –> adalah seseorang yang sudah mati?.. Tentu saja belum bukan?… Ada jawaban lagi nih..

Sabar itu tidak ada batasnya karena kita pasti selalu diuji oleh Allah… Jika kita merasa sabar kita terbatas, berarti kita sudah dikendalikan oleh nafsu amarah… Wallahu a’lam..

Nah lhoo.. Berarti ibu tkang tahu itu sedang dikendalikan oleh hawa nafsu marah ya..?.. Hmm..
Aku mengambil kesimpulan dari sini.
Sabar itu adalah perintah dari-Nya (dari Allah). Jika kita di uji oleh-Nya pasti kita harus dengan sabar menghadapinya. Hanya saja manusia kebanyakkan mengatakkan bahwa sabar ada batasnya (lhoo..? ko’ manusia bisa memberi batasan sendiri tanpa perintah dari-Nya?). Memang, sabar itu ada batasnya. Batasnya itu ketika engkau sudah mati. Tidak hidup di dunia lagi..!!.. Mengerti ya semua..?

Jadi selama engkau hidup sabar itu tak ada batasnya..!  keep sabar..!

Selasa, 03 Januari 2012

MERASA PINTAR atau PINTAR MERASA

Sahabat Hudzaifah punya catatan rahasia. Ia mengantongi daftar nama-nama orang munafik. Karena ingin tahu, Umar bin Khaththab mendekati Hudzaifah.

Kebanyakan orang tentu ingin tahu siapa saja yang masuk dalam daftar tersebut. Tapi tidak dengan Umar. Beliau hanay ingin memastikan, apakah dirinya termasuk dalam catatan tersebut.

“Apakah nama saya ada dalam daftar itu?” tanya Umar. “Tidak ada,” jawab Hudzaifah. “Alhamdulillah…,” Umar pun merasa lega dan berlalu, tanpa ingin mengetahui lebih jauh nama-nama yang memang dirahasiakan itu.

Kalau orang sekelas Umar masih merasa khawatir dengan kedudukan dirinya dihadapan Allah SWT, bagaimana dengan diri ini?

Pada kenyataannya, banyak orang yang merasa aman dan yakin bahwa dirinya sudah baik dan tidak mungkin tergolong munafik. Karena itu, yang paling sering dilakuan adalah lebih banyak menyorot kesalahan orang lain, bukan sibuk memperbaikai diri. Orang demikian itulah yang disebut merasa pintar.

MERASA PINTAR

Orang yang merasa pintar, memang cermat melihat kekurang orang lain, tetapi tidak cermat melihat kekurangan diri. Sering menganggap dirinya lebih selamat dan saleh dari orang lain. Merskipun ilmunya baru sedikit, ia sangat suka mengkritik dan menuduh orang lain. Bahkan pada orang yang lebih berilmu, hanya kareana tak sepaham dengan dirinyasudah cukup untuk memvonis bahwa orang itu jelek, tak perlu didengar, sedangkan dirinya lebih baik. Sikapnya yang merasa pintar itu dapat menjerumuskannya dalam kesombongan.

Perasaan selalu merasa lebih baik dari orang lain, menunjukkan masih adanya dominasi ego, memang sulit bersikap arif. Sukanya memaksakan kehendak dan sukar memahami orang lain.

Bahkan kalaupun ilmu yang dimilikinya semakin banyaktidak membuatnya bijak.  Tak segan-segan pula mengolok-olok dan merendahkan golongan lainnya. Ia hanya terfokus pada persepsi dan pemahaman dan perspektifnya, tidak mau bersabar melihat perspektif dari orang lain.

“Hai orang-orang yang beriman janganlah suatu  kaum mengolok-olok kaum yang lain (karena) boleh jadi mereka (yang diolok-olok) lebih baik dari mereka (yang mengolok-olok)….. “(Al-Hujaraat[49]:11).

Perasaan merasa paling benar sering menjadi kendala sinergi antar kelompok. Misalnya, saat melihat aktivis lain yang “melakukan sesuatu”, tanpa mencari tahu yang lebih dalam, kita pun risih dan tak tahan untuk langsung berkomentar. “ah hanya begitu saja, bukan apa-apa, seharusnya…….”.

Lalu orang yang disalahkan biasanya juga merasa benar dan bersikap reaktif. “Bagaima kita akan bangkit, kalau sibuk mempermasalahkan yang begitu-begitu saja”.

Sikap salaing merasa benar mengakibatkan perbedaan yang ada tidak untuk saling belajar memahami, tapi salang “meremehkan” . menyebakan konflik bukan sinergi.

PINTAR MERASA

Umar adalah contoh orang yang bukan “merasa pintar”, tapi “pintar merasa”. Meski beliau dikenal keras dan tegas, namun memiliki sensitivitas hati. Beliau lebih sibuk melihat kekurangan dirinya. Bahkan tidak segan memberi hadiah pada orang yang mau menunjukkan kesalahannya.

Dalam sebuah kejadian , pernah saat menyampaikan kebijakan sebagai khalifah didepan umum, Beliau disanggah oleh seorang wanita tua. Yang dilakukan bukannya ngotot membela diri, tapi dengan kebesaran hati Beliau berkata, “Ibu ini benar, dan Umar salah”.

Meski pengorbanan dan perjuangannya tak ada yang meragukan, beliau tidak merasa pintar sendiri. Misal dalam kisah dengan Hudzaifah diatas, Beliau lebih khawatir dengan keadaan dirinya dan menanyakan namanya daripada mencari tahu daftar nama orang lain. Ada rasa takut dan cemas dihadapan Allah; sudah benarkah keimanannya?.

Orang yang “pintar merasa”, lebih memiliki kecerdasan emosional dari orang yang “merasa pintar”. Bila orang yang “merasa pintar” cenderung menutup diri dari pendapat orang lain, sementara seseorang yang “pintar merasa” lebih berlapang dada. Ia memiliki kepekaan dalam hubungan dengan orang lain dan selalu intropeksi untuk memperbaiki diri. Menyikapi perbedaan, ia akan lebih bijak. Mau memahami perbedaan dan bersabar melihat perspektif dan persepsi orang lain. Ia tahu diri, tidak egois dan lebih bisa bersikap arif. Kalau ada kelebihan orang lain, dengan jujur ia mengakuinya.

Berbagai perbedaan, bagi orang yang “pintar merasa” bukan dijadikan bahan perpecahan, namun akan dijadikan sebagai kesempatan saling memahami, saling mengisi dan saling menghormati. Kalau diskusi yang dilakukan bukan asal ngotot supaya ia menang. Dirinya khawatir kalau-kalau pendapatnya diterima bukan karena kebenaran, melainkan hanya kepandaiannya bersilat lidah saja.

Karena itu kala pendapatnya diterima ia tidak bangga tapi malah istighfar, “Astaghfirullah…”  bila pendapatnya belum diterima ia tidak marah tetapi justru, “Alhamdulillah…” seperti sikap Imam Syafi’I, “Pendapat saya benar tetapi mungkin salah. Pendapat oranglain salah tetapi mungkin benar”. Belai masih menyisakan ruang dalam hatinya untuk menerima pendapat orang lain. Sehingga meski memiliki perbedaan pendapat sekitar enam ribua-an masalah dengan Imam Malik, nereka tetap saling menghormati.

Tindakan bijak dalam menghadapi khilafiyah, Imam Syafi’I telah memberi teladan kepada kita. Beliau berpendapat bahwa qunut subuh adalah sunnah muakkad.  Namun saat Beliau mengunjungi Baghdad, dimana madzhab Abu Hanifah berkembang, Beliau meninggalkannya, hal itu dilakukan demi menghormati  madzhab Abu Hanifah yang tidak mengamalkan qunut subuh.

Saat kita mendatangi shalat ditempat saudara kita yang celana para jamaahnya diatas mata kaki, mungkin menurut kita celana diatas mata kaki tidak wajib. Tapi celana isbal kita itu tentu akan mengganggu hati mereka. Jadi, lipat saja samapi diatas mata kaki, tidak ada susahnya. Bukankah kita diperintahkan untuk saling menghormati saudara seiman?.

Perasaan seperti itulah yang dirasakan Umar dan para sahabat. Hal seperti ini tidak menyombongkan diri dan senantiasa membutuhkan bimbingan Allah SWT.

Lihatlah positif-nya saudara kita, maka kita akan mendapatkan positif-nya. “Subhanallah… Anda  telah mengamalkan banyak sunnah”. Lalu mereka juga akan merespon secara positif dan dengan rendah hati akan menghormati saudaranya. “Masya Allah, saya  baru bisa melaksanakan yang seperti ini. Tapi hati ini masih banyak kekurangan lainnya dan perlu belajar sabar serta jujur dari anda”.

Hanya dengan bersikap arif seperti itulah memungkinkan terjadinya sinergi. Perbedaan bukan untuk saling merendahkan tetapi untuk saling belajar dan melengkapi.

Insya Allah, kalau kita “pintar merasa” akan terhubung jalinan hati. Bila masih ada cela dan kekurangan saudaranya bukannya di ekspos, melainkan ditutupi atau dilengkapi.

“Barang siapa yang menutupi aib seorang Muslim, maka ia akan diitutupi aibnya oleh Allah Ta’ala di dunia dan akherat”. (Riwayat Muslim)

Jadi dari uraian diatas, jelaslah bahwa kita lebih selamat bila tidak “merasa pintar”, tetapi “pintar merasa”