Selasa, 03 Januari 2012

MERASA PINTAR atau PINTAR MERASA

Sahabat Hudzaifah punya catatan rahasia. Ia mengantongi daftar nama-nama orang munafik. Karena ingin tahu, Umar bin Khaththab mendekati Hudzaifah.

Kebanyakan orang tentu ingin tahu siapa saja yang masuk dalam daftar tersebut. Tapi tidak dengan Umar. Beliau hanay ingin memastikan, apakah dirinya termasuk dalam catatan tersebut.

“Apakah nama saya ada dalam daftar itu?” tanya Umar. “Tidak ada,” jawab Hudzaifah. “Alhamdulillah…,” Umar pun merasa lega dan berlalu, tanpa ingin mengetahui lebih jauh nama-nama yang memang dirahasiakan itu.

Kalau orang sekelas Umar masih merasa khawatir dengan kedudukan dirinya dihadapan Allah SWT, bagaimana dengan diri ini?

Pada kenyataannya, banyak orang yang merasa aman dan yakin bahwa dirinya sudah baik dan tidak mungkin tergolong munafik. Karena itu, yang paling sering dilakuan adalah lebih banyak menyorot kesalahan orang lain, bukan sibuk memperbaikai diri. Orang demikian itulah yang disebut merasa pintar.

MERASA PINTAR

Orang yang merasa pintar, memang cermat melihat kekurang orang lain, tetapi tidak cermat melihat kekurangan diri. Sering menganggap dirinya lebih selamat dan saleh dari orang lain. Merskipun ilmunya baru sedikit, ia sangat suka mengkritik dan menuduh orang lain. Bahkan pada orang yang lebih berilmu, hanya kareana tak sepaham dengan dirinyasudah cukup untuk memvonis bahwa orang itu jelek, tak perlu didengar, sedangkan dirinya lebih baik. Sikapnya yang merasa pintar itu dapat menjerumuskannya dalam kesombongan.

Perasaan selalu merasa lebih baik dari orang lain, menunjukkan masih adanya dominasi ego, memang sulit bersikap arif. Sukanya memaksakan kehendak dan sukar memahami orang lain.

Bahkan kalaupun ilmu yang dimilikinya semakin banyaktidak membuatnya bijak.  Tak segan-segan pula mengolok-olok dan merendahkan golongan lainnya. Ia hanya terfokus pada persepsi dan pemahaman dan perspektifnya, tidak mau bersabar melihat perspektif dari orang lain.

“Hai orang-orang yang beriman janganlah suatu  kaum mengolok-olok kaum yang lain (karena) boleh jadi mereka (yang diolok-olok) lebih baik dari mereka (yang mengolok-olok)….. “(Al-Hujaraat[49]:11).

Perasaan merasa paling benar sering menjadi kendala sinergi antar kelompok. Misalnya, saat melihat aktivis lain yang “melakukan sesuatu”, tanpa mencari tahu yang lebih dalam, kita pun risih dan tak tahan untuk langsung berkomentar. “ah hanya begitu saja, bukan apa-apa, seharusnya…….”.

Lalu orang yang disalahkan biasanya juga merasa benar dan bersikap reaktif. “Bagaima kita akan bangkit, kalau sibuk mempermasalahkan yang begitu-begitu saja”.

Sikap salaing merasa benar mengakibatkan perbedaan yang ada tidak untuk saling belajar memahami, tapi salang “meremehkan” . menyebakan konflik bukan sinergi.

PINTAR MERASA

Umar adalah contoh orang yang bukan “merasa pintar”, tapi “pintar merasa”. Meski beliau dikenal keras dan tegas, namun memiliki sensitivitas hati. Beliau lebih sibuk melihat kekurangan dirinya. Bahkan tidak segan memberi hadiah pada orang yang mau menunjukkan kesalahannya.

Dalam sebuah kejadian , pernah saat menyampaikan kebijakan sebagai khalifah didepan umum, Beliau disanggah oleh seorang wanita tua. Yang dilakukan bukannya ngotot membela diri, tapi dengan kebesaran hati Beliau berkata, “Ibu ini benar, dan Umar salah”.

Meski pengorbanan dan perjuangannya tak ada yang meragukan, beliau tidak merasa pintar sendiri. Misal dalam kisah dengan Hudzaifah diatas, Beliau lebih khawatir dengan keadaan dirinya dan menanyakan namanya daripada mencari tahu daftar nama orang lain. Ada rasa takut dan cemas dihadapan Allah; sudah benarkah keimanannya?.

Orang yang “pintar merasa”, lebih memiliki kecerdasan emosional dari orang yang “merasa pintar”. Bila orang yang “merasa pintar” cenderung menutup diri dari pendapat orang lain, sementara seseorang yang “pintar merasa” lebih berlapang dada. Ia memiliki kepekaan dalam hubungan dengan orang lain dan selalu intropeksi untuk memperbaiki diri. Menyikapi perbedaan, ia akan lebih bijak. Mau memahami perbedaan dan bersabar melihat perspektif dan persepsi orang lain. Ia tahu diri, tidak egois dan lebih bisa bersikap arif. Kalau ada kelebihan orang lain, dengan jujur ia mengakuinya.

Berbagai perbedaan, bagi orang yang “pintar merasa” bukan dijadikan bahan perpecahan, namun akan dijadikan sebagai kesempatan saling memahami, saling mengisi dan saling menghormati. Kalau diskusi yang dilakukan bukan asal ngotot supaya ia menang. Dirinya khawatir kalau-kalau pendapatnya diterima bukan karena kebenaran, melainkan hanya kepandaiannya bersilat lidah saja.

Karena itu kala pendapatnya diterima ia tidak bangga tapi malah istighfar, “Astaghfirullah…”  bila pendapatnya belum diterima ia tidak marah tetapi justru, “Alhamdulillah…” seperti sikap Imam Syafi’I, “Pendapat saya benar tetapi mungkin salah. Pendapat oranglain salah tetapi mungkin benar”. Belai masih menyisakan ruang dalam hatinya untuk menerima pendapat orang lain. Sehingga meski memiliki perbedaan pendapat sekitar enam ribua-an masalah dengan Imam Malik, nereka tetap saling menghormati.

Tindakan bijak dalam menghadapi khilafiyah, Imam Syafi’I telah memberi teladan kepada kita. Beliau berpendapat bahwa qunut subuh adalah sunnah muakkad.  Namun saat Beliau mengunjungi Baghdad, dimana madzhab Abu Hanifah berkembang, Beliau meninggalkannya, hal itu dilakukan demi menghormati  madzhab Abu Hanifah yang tidak mengamalkan qunut subuh.

Saat kita mendatangi shalat ditempat saudara kita yang celana para jamaahnya diatas mata kaki, mungkin menurut kita celana diatas mata kaki tidak wajib. Tapi celana isbal kita itu tentu akan mengganggu hati mereka. Jadi, lipat saja samapi diatas mata kaki, tidak ada susahnya. Bukankah kita diperintahkan untuk saling menghormati saudara seiman?.

Perasaan seperti itulah yang dirasakan Umar dan para sahabat. Hal seperti ini tidak menyombongkan diri dan senantiasa membutuhkan bimbingan Allah SWT.

Lihatlah positif-nya saudara kita, maka kita akan mendapatkan positif-nya. “Subhanallah… Anda  telah mengamalkan banyak sunnah”. Lalu mereka juga akan merespon secara positif dan dengan rendah hati akan menghormati saudaranya. “Masya Allah, saya  baru bisa melaksanakan yang seperti ini. Tapi hati ini masih banyak kekurangan lainnya dan perlu belajar sabar serta jujur dari anda”.

Hanya dengan bersikap arif seperti itulah memungkinkan terjadinya sinergi. Perbedaan bukan untuk saling merendahkan tetapi untuk saling belajar dan melengkapi.

Insya Allah, kalau kita “pintar merasa” akan terhubung jalinan hati. Bila masih ada cela dan kekurangan saudaranya bukannya di ekspos, melainkan ditutupi atau dilengkapi.

“Barang siapa yang menutupi aib seorang Muslim, maka ia akan diitutupi aibnya oleh Allah Ta’ala di dunia dan akherat”. (Riwayat Muslim)

Jadi dari uraian diatas, jelaslah bahwa kita lebih selamat bila tidak “merasa pintar”, tetapi “pintar merasa”

Tidak ada komentar: