Ada satu paragraf tulisan Anis Matta dalam buku Serial Cinta-nya, yang mendefinisikan tentang cinta. Cinta itu pekerjaan jiwa yang besar. Dan inti pekerjaan itu ialah memberi. Memberi apa saja yang diperlukan oleh orang yang dicintai untuk tumbuh menjadi lebih baik dan bahagia karenanya. Maka pecinta sejati adalah air. Ia tumbuh dan berkembang dari siraman airmu. Adalah matahari. Ia besar dan berbuah dari sinar cahayamu. Dalam makna memberi, posisinya sangat kuat. Tidak perlu kecewa atau terhina dengan penolakan, atau lemah dan melankolik saat kasih kandas karena takdir-Nya. Sebab di sini seorang pecinta sejati sedang melakukan pekerjaan jiwa yang besar dan agung: mencintai.
Kutipan ini aku kirim ke seorang teman dekatku yang baru saja sakit hatinya karena sang pujaan hati dinikahi oleh sahabatnya sendiri – bahkan seorang sahabat yang dulu ’menginsafkan’ dia. Cinta, menurutku adalah kata yang harusnya menjadi sakral diucapkan, jika memang memiliki definisi seperti di atas. Bahkan dalam sebuah kitab klasik, disebutkan bahwa definisi meng-khitbah (melamar) itu ialah menyatakan perasaan cintanya dari seorang laki-laki kepada seorang perempuan, melalui atau tanpa walinya. Bisa dikatakan bahwa, jika ada anak muda yang mengungkapkan cinta kepada pujaan hatinya, ia telah mengkhitbah.
Dan definisi cinta yang diungkapkan Ustadz Anis di atas, baru bisa aku temukan pada sosok ibu atau orangtua. Cinta mereka luas tanpa batasan ruang dan waktu. Cinta mereka tulus tanpa ingin imbalan apa-apa. Cinta mereka berdarah-darah, harus keluar biaya bahkan nyawa. Karena mereka hanya ingin anaknya menjadi leih baik dan bahagia.
Jika ditanya berapa kali aku menyatakan cinta kepada perempuan, maka jawabannya nol. Aku tidak pernah merasakan yang namanya pacaran. Alasan realistisnya adalah aku pecundang, tidak berani ambil resiko dan – mungkin – tak laku. Alasan idealisnya karena aku menganggap pacaran malah mempersempit ’dunia’ anak muda. Mengkerdilkan pergaulan, wawasan, dan cita-cita. Karena sekali lagi, kata ’cinta’ sangat sakral menurutku untuk diucapkan. Karena konsekuensi yang begitu besar nantinya.
Aku berharap pernyataan ’cinta pertamaku’ nanti benar-benar dalam suasana yang sakral: diawali tasyahud, ada ijab, ada mahar, ada saksi. Dengan pengkondisian yang bahkan Tuhan dan Rosul pun diikutsertakan, aku berharap manifestasi ungkapan cintaku tersebut bisa dijalankan sebagaimana mestinya. Cinta yang penuh. Yang semesta pun ber-amin atasnya.
Karena pekerjaan jiwa yang berat, maka hanya orang-orang yang berjiwa tangguh-lah yang bisa memberi cintanya dengan benar. Yang bisa memanifestasikan cintanya kepada tidak hanya satu orang. Maka Rosulullah, mungkin juga Aa Gym, atau bahkan Anis Matta sendiri, memiliki objek ’cinta yang sakral’ itu lebih dari satu. Poligami.
Aku menilai poligami adalah sebuah rukhshah (keringanan) kepada orang-orang yang mempunyai kadar cinta lebih. Dan tentu orang-orang yang juga memiliki jiwa yang besar, harta yang memenuhi, dan niat yang suci. Seperti rukhshah boleh tidak berpuasa bagi yang sakit atau bepergian. Yang hanya bisa menilai apakah rukhshah tersebut diambil atau tidak, hanya dia dan Tuhan yang tahu, aku kira.
Dan aku tidak akan mengambil ’keringanan’ itu. Bagi seorang suami, isteri dan anak-anaknya ialah amanah terberat yang harus ia jamin hingga akhirat. Maka sudah cukup bagiku melingkupkan segenap cintaku untuk mereka. Untuk satu keluarga. Merekalah cinta jiwaku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar