Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakaatuh,
Allah tidak memberi apa yg kita inginkan, tetapi Allah memberi apa yg kita perlukan.
Aku yakin aku memerlukanmu untuk mendampingiku kelak..Meski ku bukan seperti apa yg kau harapkan.
Tapi,selama nafas ini masih ada,ku kan selalu berusaha berikan yg terbaik menurutNya.. InsyaAllah..
Wahai calon bidadariku..
Aku ini seorang yg sangat cemburu,, Tapi kalau Allah dan Rasullullah lebih kau cintai daripada aku
Aku rela,kerana aku juga mencintai Allah dan Rasulullah lebih daripada mu.
Cemburunya seorang suami adalah bukti bahawa dia begitu ingin melindungimu, menjaga kehormatanmu.
Saat aku masih dalam asuhan ayah dan bunda,,Tidak lain doaku adalah
ingin menjadi anak yg soleh, Agar kelak di akhirat dapat menjadi bekal
tabungan kedua orang tua ku.
Namun nanti setelah menjadi suamimu, doaku bertambah,
Semoga Allah menjadikan ku pendamping ( suami ) yg soleh.
Agar kelak di syurga kita dipertemukan dan cukup aku yg menjadi pahlawanmu, mendampingi dirimu yg solehah.
Apa yg kuharapkan darimu adalah kesolehanmu,
Semoga sama halnya dengan dirimu
Kerna apabila rupawan yg kau harapkan dariku,
Hanya kesia-siaan yg kan kau dapati.
Wahai calon bidadariku yg dirahmati Allah..
Aku masih haus akan ilmu
Namun berbekal ilmu yg kumiliki saat ini
Aku berharap dapat menjadi suami yg sentiasa mendapat keredhaan Allah.
Ketika kelak telah lahir generasi penerus dakwah islam dari pernikahan kita,
Bantu aku untuk bersama mendidik dan membesarkannya dengan Harta yg halal,
Ilmu yg bermanfaat dan terutama dengan menanamkan pada diri mereka
Ketaatan kepada Alllah SWT.
Apabila suatu hari nanti hanya ada sebuah gubuk menjadi perahu pernikahan kita.
Tak akan ku namai dengan " gubuk derita ". Kerana itulah markas dakwah kita.
Tempat kita nantinya mengatur strategi,mendidik mujahid/mujahidah kecil kita.
untuk menjadi pendakwah.
Wahai calon bidadariku,,
Coretan ini hanyalah sebahagian kecil dari isi hatiku
Kelak saat kita bertemu,siapkanlah dirimu untuk mendengar konsep masa depan
Yang ingin kurajut bersamamu.Pertemuan denganmu kelak, adalah
kejutan besar yg sedang Allah persiapkan untuk kita. Moga redha Allah
sentiasa menyertai kita dalam langkah dan harakah kita.
Amin Ya Rabbal Alamin..
Rabu, 08 Mei 2013
Mencari Sang Maha Ghoib
- "GUSTI ALLOH, dimanakah ENGKAU?
+ "AKU ada di dasar hati (hati sanubari)"
- "GUSTI ALLOH. Saya sudah menyusul ENGKAU di dasar hati.
ENGKAU kok tidak ada. Dimanakah ENGKAU?
+ "Kamu tidak bakal bisa mencari AKU.
AKU ada di dasar hidup.
Kamu bisa ketemu AKU jika sudah saatnya"
Gambaran dialog di atas menggambarkan betapa sulit dan berlikunya untuk bisa bertemu
dengan Sang Hyang Urip atau GUSTI ALLOH.
Kita tidak akan bisa bertemu, apalagi bersatu dengan GUSTI ALLOH jika belum saatnya.
Namun, dari dialog itu kita bisa tahu bahwa ALLOH itu dekat.
Seperti yang dijelaskan GUSTI ALLOH sendiri dalam Al'Quran
"AKU tidak jauh dari urat lehermu sendiri."
Namun orang Jawa memiliki falsafah tersendiri agar tidak putus asa untuk bisa bertemu
Sang Kholiq.
Falsafah tersebut berbunyi,"Sopo sing temen bakal tinemu."
Yang artinya, "Siapa yang benar-benar mencari, bakal menemukannya".
Falsafah tersebut sangat besar artinya bagi para pendaki spiritual.
Setidaknya, kita pasti bisa bertemu dengan GUSTI ALLOH
di alam kematian saat kita hidup di dunia ini.
Lho hidup di dunia ini kok disebut alam kematian? Karena orang hidup di dunia itu
hakekatnya adalah mati, dan orang yang sudah mati itu hakekatnya hidup.
Alasannya, kita hidup di dunia ini selalu diperalat oleh kulit, daging, perut, otak dan lain-lainnya.
Oleh karena itu, saat kita hidup di dunia ini pasti membutuhkan makanan untuk kita makan.
Sarana untuk bisa mendapatkan makanan adalah dengan bekerja mencari duit.
Nah, kita makan itu sebetulnya hanyalah untuk menunda kematian.
Lantaran diperalat oleh indera, kulit, daging, perut, otak dan lainnya,
maka kita ini disebut mati.
Tetapi ketika seseorang itu mati, badan yang bersifat jasad ini ditinggalkan.
Yang hidup hanyalah ruh, Ruh tidak pernah butuh makan, tidur, apalagi butuh duit.
Ruh itu hanya butuh bertemu dengan si Pemilik Ruh.
"Belajarlah mati sebelum kematian itu datang".
Artinya, ketika kita hidup di dunia ini hendaklah kita belajar mematikan hawa nafsu
dan membersihkan segala hal yang bersifat mengotori hati.
Tujuannya semata-mata hanya untuk bertemu dengan GUSTI ALLOH.
Mengapa kita mesti belajar mati? Belajar mati sangatlah penting.
Agar nanti ketika kita mati tidak salah arah dan salah langkah.
Lho...bukankah orang mati itu ibarat tidur menunggu pengadilan dari Hyang Maha Agung?
Oh...tidak. Orang mati itu justru memulai kembali perjalanan menuju ke Hyang Maha Kuasa.
Orang Jawa mengatakan dalam kata-kata bijaksananya,
"Urip iku ibarat wong mampir ngombe (Hidup itu seperti orang yang mampir minum)".
Kalau diibaratkan secara detil, orang hidup di dunia ini sebenarnya mirip seorang musafir
yang berjalan, lalu kelelahan, istirahat dan minum di bawah pohon.
Ketika rasa letih dan lelah itu sudah sirna, si musafir itupun harus kembali
melanjutkan perjalanannya. Kemana? Tentu saja ke tempat tujuannya.
GUSTI ALLOH itu dekat, jika sang musafir senantiasa mengingat-ingat
tentang GUSTI ALLOH.
Tetapi sebaliknya, GUSTI ALLOH itu jauh ketika sang musafir tersebut
lebih banyak berpikir tentang hal-hal lain yang bersifat duniawi selain GUSTI ALLOH.
Pertanyaannya, bagaimana untuk bisa bertemu dengan ALLOH?
Ibarat kita hendak bertemu sang kekasih hati, gambaran wajah sang kekasih hati
sudah terlukis dalam benak kita meski lama tak bertemu dan di lokasi yang jauh.
"Jauh di mata, dekat di hati".
Oleh karena itu, pertama, GUSTI ALLOH harus selalu terlukis dalam benak kita.
Artinya, kita harus senantiasa eling.
Kedua, GUSTI ALLOH itu bersifat Ghoib. "Mustahil bagi kita yang nyata ini
bertemu dengan yang Ghoib," begitu kata orang rasional.
Tapi pendapat itu tidak berlaku bagi para pendaki spiritual.
Seseorang bisa bertemu dengan Sang GHOIB dengan menggunakan satu piranti khusus.
Apakah itu? Piranti itu adalah mata batin.
Sebab GUSTI ALLOH tidak bisa dipandang dengan mata telanjang.
Dari kedua cara tersebut, maka kita bisa mengambil kesimpulan bahwa kedua cara tersebut
lebih mengandalkan pada piranti yang lebih halus lagi untuk bisa bertemu
dengan GUSTI ALLOH yaitu dengan RASA.
Jika RASA itu sudah terbiasa diasah, maka akan menjadi tajam seperti mata pedang.
Cobalah untuk berlatih mengasah RASA dengan cara belajar mati.
+ "AKU ada di dasar hati (hati sanubari)"
- "GUSTI ALLOH. Saya sudah menyusul ENGKAU di dasar hati.
ENGKAU kok tidak ada. Dimanakah ENGKAU?
+ "Kamu tidak bakal bisa mencari AKU.
AKU ada di dasar hidup.
Kamu bisa ketemu AKU jika sudah saatnya"
Gambaran dialog di atas menggambarkan betapa sulit dan berlikunya untuk bisa bertemu
dengan Sang Hyang Urip atau GUSTI ALLOH.
Kita tidak akan bisa bertemu, apalagi bersatu dengan GUSTI ALLOH jika belum saatnya.
Namun, dari dialog itu kita bisa tahu bahwa ALLOH itu dekat.
Seperti yang dijelaskan GUSTI ALLOH sendiri dalam Al'Quran
"AKU tidak jauh dari urat lehermu sendiri."
Namun orang Jawa memiliki falsafah tersendiri agar tidak putus asa untuk bisa bertemu
Sang Kholiq.
Falsafah tersebut berbunyi,"Sopo sing temen bakal tinemu."
Yang artinya, "Siapa yang benar-benar mencari, bakal menemukannya".
Falsafah tersebut sangat besar artinya bagi para pendaki spiritual.
Setidaknya, kita pasti bisa bertemu dengan GUSTI ALLOH
di alam kematian saat kita hidup di dunia ini.
Lho hidup di dunia ini kok disebut alam kematian? Karena orang hidup di dunia itu
hakekatnya adalah mati, dan orang yang sudah mati itu hakekatnya hidup.
Alasannya, kita hidup di dunia ini selalu diperalat oleh kulit, daging, perut, otak dan lain-lainnya.
Oleh karena itu, saat kita hidup di dunia ini pasti membutuhkan makanan untuk kita makan.
Sarana untuk bisa mendapatkan makanan adalah dengan bekerja mencari duit.
Nah, kita makan itu sebetulnya hanyalah untuk menunda kematian.
Lantaran diperalat oleh indera, kulit, daging, perut, otak dan lainnya,
maka kita ini disebut mati.
Tetapi ketika seseorang itu mati, badan yang bersifat jasad ini ditinggalkan.
Yang hidup hanyalah ruh, Ruh tidak pernah butuh makan, tidur, apalagi butuh duit.
Ruh itu hanya butuh bertemu dengan si Pemilik Ruh.
"Belajarlah mati sebelum kematian itu datang".
Artinya, ketika kita hidup di dunia ini hendaklah kita belajar mematikan hawa nafsu
dan membersihkan segala hal yang bersifat mengotori hati.
Tujuannya semata-mata hanya untuk bertemu dengan GUSTI ALLOH.
Mengapa kita mesti belajar mati? Belajar mati sangatlah penting.
Agar nanti ketika kita mati tidak salah arah dan salah langkah.
Lho...bukankah orang mati itu ibarat tidur menunggu pengadilan dari Hyang Maha Agung?
Oh...tidak. Orang mati itu justru memulai kembali perjalanan menuju ke Hyang Maha Kuasa.
Orang Jawa mengatakan dalam kata-kata bijaksananya,
"Urip iku ibarat wong mampir ngombe (Hidup itu seperti orang yang mampir minum)".
Kalau diibaratkan secara detil, orang hidup di dunia ini sebenarnya mirip seorang musafir
yang berjalan, lalu kelelahan, istirahat dan minum di bawah pohon.
Ketika rasa letih dan lelah itu sudah sirna, si musafir itupun harus kembali
melanjutkan perjalanannya. Kemana? Tentu saja ke tempat tujuannya.
GUSTI ALLOH itu dekat, jika sang musafir senantiasa mengingat-ingat
tentang GUSTI ALLOH.
Tetapi sebaliknya, GUSTI ALLOH itu jauh ketika sang musafir tersebut
lebih banyak berpikir tentang hal-hal lain yang bersifat duniawi selain GUSTI ALLOH.
Pertanyaannya, bagaimana untuk bisa bertemu dengan ALLOH?
Ibarat kita hendak bertemu sang kekasih hati, gambaran wajah sang kekasih hati
sudah terlukis dalam benak kita meski lama tak bertemu dan di lokasi yang jauh.
"Jauh di mata, dekat di hati".
Oleh karena itu, pertama, GUSTI ALLOH harus selalu terlukis dalam benak kita.
Artinya, kita harus senantiasa eling.
Kedua, GUSTI ALLOH itu bersifat Ghoib. "Mustahil bagi kita yang nyata ini
bertemu dengan yang Ghoib," begitu kata orang rasional.
Tapi pendapat itu tidak berlaku bagi para pendaki spiritual.
Seseorang bisa bertemu dengan Sang GHOIB dengan menggunakan satu piranti khusus.
Apakah itu? Piranti itu adalah mata batin.
Sebab GUSTI ALLOH tidak bisa dipandang dengan mata telanjang.
Dari kedua cara tersebut, maka kita bisa mengambil kesimpulan bahwa kedua cara tersebut
lebih mengandalkan pada piranti yang lebih halus lagi untuk bisa bertemu
dengan GUSTI ALLOH yaitu dengan RASA.
Jika RASA itu sudah terbiasa diasah, maka akan menjadi tajam seperti mata pedang.
Cobalah untuk berlatih mengasah RASA dengan cara belajar mati.
Pesan Sunan Kalijaga kepada umat akhir jaman
"Yen
pasar ilang kumandange...
Yen kali wis ilang kedunge...
Yen wong wadon wis ilang wirange...
Mlakuho topo lelono..njajah deso milang kori..
Ojo nganti/ngasi bali yen durung bali patang sasi..
Golek wisik songko sang Hyang Widhi..."
Artinya :
Yen pasar ilang kumandange,....
Jika pasar sudah mulai diam.. maksudnya jika perdagangan sudah tidak dengan tawar-menawar karena banyaknya mall dan pasar swalayan yang berdiri. Kata orang2 tua di tanah jawa ini dahulunya semua pasar memakai sistem tawar menawar sehingga suaranya begitu keras terdengar dari kejauhan seperti suara lebah yang mendengung..
ini bermakna tadinya adanya kehangatan dalam social relationship di masyarakat.. tapi sekarang sudah hilang...biarpun kita sering ke plaza atau ke supermarket ratusan kali kita tidak kenal para pelayan dan cashier di tempat itu..
Yen kali wis ilang kedunge...
jika sungai sudah mulai kering... jika sumber air sudah mulai kering..
maksudnya jika para alim ulama sumber ilmu sudah mulai wafat satu persatu...maka ini alamat bahwa dunia mau diQiamatkan Allah SWT. Ulama ditamsilkan seperti air yang menghidupkan hati2 manusia yang gelap tanpa cahaya hidayah..
Yen wong wadon wis ilang wirange...
Jika wanita sudah tidak punya rasa malu...
Mlakuho topo lelono..njajah deso milang kori
berjalanlah topo lelono
artinya bermujahadah susah payah dalam perjalanan ruhani, spiritual (suluk) atau perjalanan fi sabilillah...
Ojo nganti/ngasi bali yen durung bali patang sasi
jangan pulang sebelum engkau selesai program 4 bulan
Golek wisik songko sang Hyang Widhi..."
cari petunjuk, ilham, hidayah dan kepahaman ruhani dari Dzat yang Maha Esa..
Pesan Sunan Kalijaga ini ditujukan kepada umat akhir jaman dengan sebelumnya menyebut tanda-tanda akhir jaman & saran beliau untuk melakukan pendekatan kepada Allah melalui perjalanan Ruhani mencari petunjuk & hidayah dari-Nya..
Yen kali wis ilang kedunge...
Yen wong wadon wis ilang wirange...
Mlakuho topo lelono..njajah deso milang kori..
Ojo nganti/ngasi bali yen durung bali patang sasi..
Golek wisik songko sang Hyang Widhi..."
Artinya :
Yen pasar ilang kumandange,....
Jika pasar sudah mulai diam.. maksudnya jika perdagangan sudah tidak dengan tawar-menawar karena banyaknya mall dan pasar swalayan yang berdiri. Kata orang2 tua di tanah jawa ini dahulunya semua pasar memakai sistem tawar menawar sehingga suaranya begitu keras terdengar dari kejauhan seperti suara lebah yang mendengung..
ini bermakna tadinya adanya kehangatan dalam social relationship di masyarakat.. tapi sekarang sudah hilang...biarpun kita sering ke plaza atau ke supermarket ratusan kali kita tidak kenal para pelayan dan cashier di tempat itu..
Yen kali wis ilang kedunge...
jika sungai sudah mulai kering... jika sumber air sudah mulai kering..
maksudnya jika para alim ulama sumber ilmu sudah mulai wafat satu persatu...maka ini alamat bahwa dunia mau diQiamatkan Allah SWT. Ulama ditamsilkan seperti air yang menghidupkan hati2 manusia yang gelap tanpa cahaya hidayah..
Yen wong wadon wis ilang wirange...
Jika wanita sudah tidak punya rasa malu...
Mlakuho topo lelono..njajah deso milang kori
berjalanlah topo lelono
artinya bermujahadah susah payah dalam perjalanan ruhani, spiritual (suluk) atau perjalanan fi sabilillah...
Ojo nganti/ngasi bali yen durung bali patang sasi
jangan pulang sebelum engkau selesai program 4 bulan
Golek wisik songko sang Hyang Widhi..."
cari petunjuk, ilham, hidayah dan kepahaman ruhani dari Dzat yang Maha Esa..
Pesan Sunan Kalijaga ini ditujukan kepada umat akhir jaman dengan sebelumnya menyebut tanda-tanda akhir jaman & saran beliau untuk melakukan pendekatan kepada Allah melalui perjalanan Ruhani mencari petunjuk & hidayah dari-Nya..
Langganan:
Postingan (Atom)