Kamis, 25 Februari 2010

Peringatan Maulid Nabi Dalam Timbangan Islam


 


 
Sejarah Peringatan Hari Maulid Nabi Bulan Rabi’ul Awwal dikenang oleh kaum muslimin sebagai bulan maulid Nabi, karena pada bulan itulah, tepatnya pada hari senin tanggal 12, junjungan kita nabi besar Muhammad dilahirkan, menurut pendapat jumhur ulama. Mayoritas kaum muslimin pun beramai-ramai memperingatinya karena terdorong rasa mahabbah (kecintaan) kepada beliau, dengan suatu keyakinan bahwa ini adalah bagian dari hari raya Islam, bahkan terkategorikan sebagai amal ibadah mulia yang dapat mendekatkan diri kepada Allah. Lalu sejak kapankah peringatan ini diadakan?
 
Al Imam Ibnu Katsir menyebutkan bahwa yang pertama kali mengadakan peringatan maulid Nabi adalah para raja kerajaan Fathimiyyah -Al ‘Ubaidiyyah yang dinasabkan kepada ‘Ubaidullah bin Maimun Al Qaddah Al Yahudi- mereka berkuasa di Mesir sejak tahun 357 H hingga 567 H. Para raja Fathimiyyah ini beragama Syi’ah Isma’iliyyah Rafidhiyyah. (Al Bidayah Wan Nihayah 11/172). Demikian pula yang dinyatakan oleh Al Miqrizi dalam kitabnya Al Mawaa’izh Wal I’tibar 1/490. (Lihat Ash Shufiyyah karya Asy Syaikh Muhammad bin Jamil Zainu hal. 43)
 
Adapun Asy Syaikh Ali Mahfuzh maka beliau berkata: "Di antara pakar sejarah ada yang menilai, bahwa yang pertama kali mengadakan peringatan maulid Nabi ialah para raja kerajaan Fathimiyyah di Kairo, pada abad ke-4 H. Mereka menyelenggarakan enam perayaan maulid, yaitu maulid Nabi, maulid Imam Ali Radhiyallahu ‘Anhu, maulid Sayyidah Fathimah Az Zahra, maulid Al Hasan dan Al Husain, dan maulid raja yang sedang berkuasa. Perayaan-perayaan tersebut terus berlangsung dengan berbagai modelnya, hingga akhirnya dilarang pada masa Raja Al Afdhal bin Amirul Juyusy. Namun kemudian dihidupkan kembali pada masa Al Hakim bin Amrullah pada tahun 524 H, setelah hampir dilupakan orang. (Al Ibda’ Fi Mazhahiril Ibtida’ , hal. 126)

Hukum Memperingati Maulid Nabi
 
Hari kelahiran Nabi mempunyai keutamaan di sisi Allah. Berkata Ibnu Qayyim Al Jauziyyah: "Nabi Muhammad dilahirkan pada tahun gajah. Peristiwa ini (yakni dihancurkannya tentara bergajah yang dipimpin oleh Abrahah ketika hendak menyerang Ka’bah) adalah sebagai bentuk pemuliaan Allah kepada Nabi-Nya dan Baitullah Ka’bah." (Zaadul Ma’ad: 1/74)

Lalu apakah dengan kemuliaan tersebut lantas disyari’atkan untuk memperingatinya? Para pembaca yang budiman, ketahuilah bahwa tolok ukur suatu kebenaran adalah Al Qur’an dan As Sunnah dengan pemahaman Salaful Ummah dari kalangan sahabat Nabi. Allah berfirman (artinya): "Jika kalian berselisih dalam suatu perkara maka kembalikanlah kepada Allah (yakni Al Qur’an) dan Rasul-Nya (yakni As Sunnah), jika kalian benar-benar beriman kepada Allah dan hari kiamat." (An Nisaa’: 59)
 
Subhanallah! Ketika kita kembali kepada Al Qur’an ternyata tidak ada satu ayat pun yang memerintahkannya, demikian pula di dalam As Sunnah Rasulullah tidak pernah melakukannya atau memerintahkannya. Padahal kaum muslimin sepakat bahwa tidak ada sesuatu pun dari agama ini yang belum disampaikan oleh Nabi Muhammad. Nabi bersabda (yang artinya): "Tidaklah Allah mengutus seorang nabi kecuali wajib baginya untuk menunjukkan kepada umatnya segala kebaikan yang diketahuinya, dan memperingatkan mereka dari kejelekan yang diketahuinya." (HR. Muslim)
 
Bagaimanakah dengan para sahabat Nabi, apakah mereka memperingati hari kelahiran seorang yang paling mereka cintai ini?
 
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata: "Merayakan hari kelahiran Nabi tidak pernah dilakukan oleh Salaf (yakni para sahabat), meski ada peluang dan tidak ada penghalang tertentu bagi mereka untuk melakukannya. Kalaulah perayaan maulid ini murni suatu kebaikan atau lebih besar kebaikannya, pastilah kaum Salaf Radhiyallahu Anhum orang yang lebih berhak merayakannya daripada kita. Karena kecintaan dan pengagungan mereka kepada Rasul lebih besar dari yang kita miliki, demikian pula semangat mereka dalam meraih kebaikan lebih besar daripada kita. (Iqtidha’ Shirathil Mustaqim: 2/122)
 
Bagaimana dengan tabi’in, tabi’ut tabi’in dan Imam-Imam yang empat (Al Imam Abu Hanifah, Malik, Asy Syafi’i dan Ahmad), apakah mereka merayakan maulid Nabi? Jawabnya adalah bahwa mereka sama sekali tidak pernah merayakannya.
 
Dan bila kita renungkan lebih dalam, ternyata peringatan Maulid Nabi ini merupakan bentuk tasyabbuh (penyerupaan) terhadap orang-orang Nashrani. Karena mereka biasa merayakan hari kelahiran Nabi Isa Alaihis Salam. Rasulullah bersabda (yang artinya): "Barangsiapa menyerupai suatu kaum, maka dia termasuk bagian dari mereka." (H.R Ahmad)
 
Para pembaca yang budiman, mungkinkah suatu amalan yang tidak ada perintahnya di dalam Al Qur’an dan As Sunnah, tidak pernah dilakukan atau diperintahkan oleh Rasulullah dan para sahabatnya, tidak pernah pula dilakukan oleh tabi’in, tabi’ut tabi’in dan Imam-Imam yang empat (Al Imam Abu Hanifah, Malik, Asy Syafi’i dan Ahmad), bahkan hasil rekayasa para raja kerajaan Fathimiyyah yang dari keturunan Yahudi, dan juga mengandung unsur penyerupaan terhadap orang-orang Nashrani, tergolong sebagai amal ibadah dalam agama ini? Tentu seorang yang kritis dan berakal sehat akan mengatakan: ‘tidak mungkin’, bahkan tergolong sebagai amalan bid’ah yang sangat berbahaya.
 
Rasulullah bersabda (yang artinya): "Barangsiapa mengada-adakan sesuatu hal yang baru dalam agama kami ini yang bukan bagian darinya, maka amalannya akan tertolak." (Muttafaqun ‘Alaihi)
 
Lebih dari itu, Allah berfirman (yang artinya): "Barangsiapa yang menyelisihi Rasul setelah jelas baginya kebenaran dan mengikuti selain jalan orang-orang mukmin (yakni sahabat Nabi), maka Aku akan palingkan ke mana mereka berpaling dan Kami masukkan mereka ke dalam Jahannam." (An Nisaa’: 115)
 
Bagaimanakah, bila pada sebagian acara yang tidak ada syariatnya tersebut justru diramaikan oleh senandung syirik ala Bushiri yang ia goreskan dalam kitab Burdahnya:
 
"Duhai dzat yang paling mulia (Nabi Muhammad), tiada tempat berlindung bagiku dari hempasan musibah nan menggurita selain engkau.
Bila hari kiamat engkau tak berkenan mengambil tanganku sebagai bentuk kemuliaan, maka katakanlah duhai orang yang binasa.
Karena sungguh diantara bukti kedermawananmu adalah adanya dunia dan akhirat, dan diantara ilmumu adalah ilmu tentang Lauhul Mahfuzh dan pena pencatat takdir (ilmu tentang segala kejadian)."
 
Padahal, Rasulullah jauh-jauh hari telah memperingatkan umatnya dengan sabda beliau (artinya): "Janganlah kalian berlebihan didalam memuliakanku sebagaimana orang-orang Nashrani berlebihan didalam memuliakan Isa bin Maryam, sungguh aku hanyalah seorang hamba, maka ucapkanlah (untukku): Hamba Allah dan Rasul-Nya." (H.R. Al Bukhari). Demikian pula Allah telah berfirman (artinya): "Katakanlah: aku tidak mengatakan kepadamu bahwa perbendaharaan Allah ada padaku, dan tidak (pula) aku mengetahui yang ghaib, serta tidak (pula) aku mengatakan padamu bahwa aku adalah malaikat." (Al An’am: 50)

Serba - Serbi
 
Para pembaca, ketahuilah bahwa semata-mata niat baik bukanlah timbangan segala-galanya. Lihatlah bagaimana sikap Abdullah bin Mas’ud Radhiyallahu ‘Anhu terhadap sekelompok muslimin yang duduk di masjid dalam keadaan membaca takbir, tahlil, tasbih, dan berdzikir dengan cara yang belum pernah dikerjakan Rasulullah, beliau berkata: "…celakalah kalian hai umat Nabi Muhammad! Alangkah cepatnya kehancuran menimpa kalian! Padahal para sahabat Nabi masih banyak yang hidup, pakaian beliau pun belum usang, dan bejana-bejana beliau pun belum hancur. Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, apakah kalian merasa di atas suatu agama yang lebih benar daripada agama Muhammad atau kalian justru sebagai pembuka pintu-pintu kesesatan?" Mereka menjawab: "Wahai Abu Abdirrahman (yakni ‘kunyah’ dari Abdullah bin Mas’ud), tidaklah yang kami inginkan (niatkan) kecuali kebaikan semata? Beliau menjawab: "Betapa banyak orang yang menginginkan kebaikan tetapi tidak mendapatkannya." (HR. Ad Darimi 1/68-69).
 
Al Imam Asy Syafi’i berkata: "Barangsiapa yang menganggap baiknya suatu amalan (tanpa dalil), berarti ia telah membuat syari’at." (Al Muhalla fi Jam’il Jawaami’ 2/395)
 
Demikian pula semata-mata mencintai Nabi tanpa meniti jalannya dan jalan orang-orang yang dicintai oleh Allah dan Rasul-Nya yakni para sahabat, adalah kecintaan yang palsu. Dengan tegas Allah berfirman (artinya): "Katakanlah (wahai Muhammad), jika kalian mencintai Allah, maka ikutilah aku." (Ali Imran: 31)
 
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata: "Sesungguhnya kesempurnaan cinta dan pengagungan terhadap Rasul terletak pada (kuatnya) ittiba’ (mengikuti jejaknya), ketaatan kepadanya, menjalankan perintahnya, menghidupkan sunnahnya lahir maupun batin, dan menyebarkannya serta berjihad dalam upaya tersebut baik dengan hati, tangan dan lisan." (Iqtidha’ Shirathil Mustaqim: 2/122)

Para pembaca, mungkin dalam hati kecil ada yang bergumam: "Tidakkah peringatan maulid Nabi ini termasuk bid’ah hasanah?"
 
Kita katakan bahwa Rasulullah bersabda (yang artinya): "Hati-hatilah kalian dari perkara-perkara yang diada-adakan (dalam agama) karena sungguh semua yang diada-adakan (dalam agama) adalah bid’ah, dan setiap bid’ah itu adalah sesat." (HR. Abu Dawud & Ibnu Majah)
 
Beranikah seorang yang mengaku cinta kepada Rasulullah menyelisihi sabda beliau? Rasulullah nyatakan setiap bid’ah itu adalah sesat, lalu ia menyatakan bahwa ada bid’ah yang hasanah (baik)?!! Sungguh ironis seorang yang katanya cinta kepada Rasul sehingga sangat berkepentingan untuk memperingati hari kelahirannya, namun dalam mewujudkannya harus menentang Rasulullah. Apakah itu hakekat cinta kepada Allah dan Rasul-Nya? Tentu jawabannya ‘Tidak’, karena hakekat cinta kepada Allah dan Rasul-Nya adalah dengan ketaatan yang sempurna kepada keduanya, sebagaimana yang dikandung oleh firman Allah dalam Q.S Ali Imran:31.
 
Cukuplah sebagai bukti kesesatannya dan bukan hasanah, ketika Rasulullah, para sahabatnya, para tabi’in, tabi’ut tabi’in dan para imam setelah mereka (termasuk imam yang empat), tidak melakukannya dan tidak pernah membimbing umat untuk mengerjakannya. Kalaulah ia hasanah, pasti mereka telah merayakannya dan menyumbangkan segala apa yang mereka punya untuk acara tersebut, namun ternyata mereka tidak melakukannya. Sahabat Abdullah bin Umar berkata: "Setiap bid’ah itu sesat walaupun orang-orang menganggapnya hasanah (baik). (Al Ushul I’tiqad Al Lika’i: 1/109)
 
Al Imam Malik berkata: "Barangsiapa mengada-adakan perkara baru dalam agama yang dia pandang itu adalah baik, sungguh ia telah menuduh bahwa nabi Muhammad telah berkhianat terhadap risalah (yang beliau emban). Karena Allah berfirman (artinya): "Pada hari ini telah Ku-sempurnakan agama bagi kalian, dan Aku telah lengkapkan nikmat-Ku atas kalian dan Aku telah ridha Islam menjadi agama kalian". Atas dasar ini, segala perkara yang pada waktu itu (yakni di masa nabi/para sahabat) bukan bagian dari agama, maka pada hari ini pula perkara itu bukan termasuk agama." (Al I’tisham: 1/49)
 
Mungkin ada yang berseloroh, kalau melakukannya dengan niatan ibadah maka bid’ah, tapi kalau sekedar memperingati agar lebih mengenal sosok Rasulullah maka mubah, bahkan bisa jadi sunnah atau wajib, karena setiap muslim wajib mengenal Nabinya. Kita katakan kepadanya bahwa itu tidak benar!, karena sungguh ironis seorang yang mengaku cinta kepada Nabi Sholallahu ‘Alaihi Wasallam, mengenalinya kok hanya setahun sekali?! Mengenal sosok beliau tidaklah dibatasi oleh bulan atau tanggal tertentu. Jika ia dibatasi oleh waktu tertentu, apalagi dengan cara tertentu pula, maka sudah masuk kedalam lingkup bid’ah. Lebih dari itu, sangat mustahil atau kecil kemungkinannya bila tidak disertai niat merayakan hari kelahiran beliau, yang ini pun sesungguhnya sudah masuk kedalam lingkup tasyabbuh dengan orang-orang Nashrani yang dibenci oleh Rasulullah sendiri. Sudikah kita mengenal dan mengenang Nabi , namun beliau sendiri tidak suka dengan cara yang kita lakukan?!
 
Para pembaca, demikianlah apa yang bisa kami sajikan, semoga menjadi pelita dalam kegelapan dan embun penyejuk bagi pencari kebenaran. Amiin, yaa Mujiibas Saailiin.
 
Sumber:www.assalafy.org

Selasa, 23 Februari 2010

Kupinang Engkau dengan Hamdalah

Di antara tanda-tanda kekuasaan Allah, ialah diciptakannya pasangan-pasanganmu dari jenismu sendiri, agar kamu cenderung padanya. Dan Allah menjadikan di antara kalian perasaan tenteram dan kasih sayang. Pada yang demikian ada tanda-tanda kekuasaan Allah bagi kaum yang berfikir.
Ketika tiba masa usia aqil baligh, maka perasaan ingin memperhatikan dan diperhatikan lawan jenis begitu bergejolak. Banyak perasaan aneh dan bayang-bayang suatu sosok berseliweran tak karuan. Kadang bayang-bayang itu menjauh tapi kadang terasa amat dekat. Kadang seorang pemuda bisa bersikap acuh pada bayang-bayang itu tapi kadang terjebak dan menjadi lumpuh. Perasaan sepi tiba-tiba menyergap ke seluruh ruang hati. Hati terasa sedih dan hidup terasa hampa. Seakan apa yang dilakukannya jadi sia-sia. Hidup tidak bergairah. Ada setitik harapan tapi berjuta titik kekhawatiran justru mendominasi.
Perasaan semakin tak menentu ketika harapan itu mulai mengarah kepada lawan jenis. Semua yang dilakukannya jadi serba salah. Sampai kapan hal ini berlangsung? Jawabnya ada pada pemuda itu sendiri. Kapan ia akan menghentikan semua ini. Sekarang, hari ini, esok, atau tahun- tahun besok. Semakin panjang upaya penyelesaian dilakukan yang jelas perasaan sakit dan tertekan semakin tak terperikan. Sebaliknya semakin cepat / pendek waktu penyelesaian diupayakan, kebahagiaan & kegairahan hidup segera dirasakan. Hidup menjadi lebih berarti & segala usahanya terasa lebih bermakna.
Penyelesaian apa yang dimaksud? Menikah! Ya menikah adalah alat solusi untuk menghentikan berbagai kehampaan yang terus mendera. Lantas kapan? Bilakah ia bisa dilaksanakan? Segera! Segera di sini jelas berbeda dengan tergesa- gesa. Untuk membedakan antara segera dengan tergesa- gesa, bisa dilihat dari dua cara :
Pertama, tanda-tanda hati. Orang yang mempunyai niat tulus, kata Imam Ja'far, adalah dia yang hatinya tenang, sebab hati yang tenang terbebas dari pemikiran mengenai hal-hal yang dilarang, berasal dari upaya membuat niat murni untuk Allah dalam segala perkara. Kalau menyegerakan menikah karena niat yang jernih, Insya Allah hati akan merasakan sakinah, yaitu ketenangan jiwa saat menghadapi masalah-masalah yang harus diselesaikan. Kita merasa yakin, meskipun harapan & kekhawatiran meliputi dada. Lain lagi dengan tergesa-gesa. Ketergesaan ditandai oleh perasaan tidak aman & hati yang diliputi kecemasan yang memburu.
Kedua, tanda-tanda perumpamaan. Ibarat orang bikin bubur kacang hijau, ada beberapa bahan yang diperlukan. Bahan paling pokok adalah gula & kacang hijau. Jika gula & kacang hijau dimasukkan air kemudian direbus, maka akan didapati kacang hijau tidak mengembang. Ini namanya tergesa-gesa. Kalau gula baru dimasukkan setelah kacang hijaunya mekar ini namanya menyegerakan. Tapi kalau lupa, tidak segera memasukkan gula setelah kacang hijaunya mekar cukup lama orang akan kehilangan banyak zat gizi yang penting.
Dari Abu Hurairah r.a, Rasulullah bersabda : "Tiga orang yang selalu diberi pertolongan Allah adalah seorang mujahid yang selalu memperjuangkan agama Allah, seorang penulis yang selalu memberi penawar & seorang yang menikah untuk menjaga kehormatannya" (HR Thabrani)
Banyak jalan yang dapat menghantarkan orang kepada peminangan & pernikahan. Banyak sebab yang mendekatkan dua orang yang saling jauh menjadi suami istri yang penuh barakah & diridhai Allah. Ketika niat sudah mantap & tekad sudah bulat, persiapkan hati untuk melangkah ke peminangan. Dianjurkan, memulai lamaran dengan hamdalah & pujian lainnya kepada Allah SWT. Serta Shalawat kepada Rasul-Nya. Abu Hurairah r.a. menceritakan bahwa Rasulullah SAW pernah bersabda : "Setiap perkataan yang tidak dimulai dengan bacaan hamdalah, maka hal itu sedikit barakahnya (terputus keberkahannya)" HR Abu Daud, Ibnu Majah & Imam Ahmad.
Setelah peminangan disampaikan, biarlah pihak wanita & wanita yang bersangkutan untuk mempertimbangkan. Sebagian memberikan jawaban segera, sebelum kaki bergeser dari tempat berpijaknya, sebab menikah mendekatkan kepada keselamatan akhirat, sedang calon yang datang sudah diketahui akhlaqnya, sebagian memerlukan waktu yang cukup lama untuk bisa memberi kepastian apakah pinangan diterima atau ditolak, karena pernikahan bukan untuk sehari dua hari.
Apapun, serahkan kepada keluarga wanita untuk memutuskan. Mereka yang lebih tahu keputusan apa yang terbaik bagi anaknya. Anda harus husnudzan pada mereka. Bukankah ketika meminang wanita berarti anda mempercayai wanita yang diharapkan oleh anda beserta keluarganya.
Keputusan apapun yang mereka berikan, sepanjang didasarkan atas musyawarah yang lurus, akan baik dan Insya Allah memberi akibat yang baik bagi anda. Tidak kecewa orang yang istikharah & tidak merugi orang yang musyawarah. Maka apapun hasil musyawarah, sepanjang dilakukan dengan baik, akan membuahkan kebaikan. Sebuah keputusan tidak bisa disebut buruk atau negatif, jika memang didasarkan kepada musyawarah yang memenuhi syarat, hanya karena tidak memberi kesempatan kepada anda untuk menjadi anggota keluarga mereka. Jika niat anda memang untuk silaturrahim, bukankah masih tersedia banyak peluang untuk menyambung?
Anda telah meminangnya dengan hamdalah, anda telah dimampukan datang oleh Allah Yang Maha Besar. Dia-lah Yang Maha Lebih Besar. Semuanya kecil. Ada pelajaran yang sangat berharga dari Bilal bin Rabbah tentang meminang. Ketika ia bersama Abu Ruwaihah menghadap kabilah Khaulan, Bilal mengemukakan : "Jika pinangan kami anda terima, kami ucapkan Alhamdulillah. Dan kalau anda menolak, maka kami ucapkan Allahu Akbar." Maka, kalau pinangan yang anda sampaikan ditolak, agungkan Allah, semoga anda tetap berbaik sangka kepada Allah & juga kepada keluarganya. Sebab bisa jadi, penolakan merupakan jalan pensucian jiwa dari kedzaliman diri sendiri, bisa jadi penolakan merupakan proses untuk mencapai kematangan, kemantapan & kejernihan niat. Sementara ada banyak hal yang dapat mengotori niat. Bisa jadi Allah hendak mengangkat derajat anda, kecuali anda justru malah merendahkan diri sendiri. Tapi hati perlu diperiksa, jangan-jangan perasaan itu muncul karena ujub.
Kekecewaan, mungkin saja timbul. Barangkali ada perasaan yang perih, barangkali juga ada yang merasa kehilangan rasa percaya diri saat itu. Ini merupakan reaksi psikis yang wajar, kecewa adalah perasaan yang manusiawi, tetapi ia harus diperlakukan dengan cara yang tepat agar ia tidak menggelincirkan ke jurang kenistaan yang sangat gelap. Kecewa memang pahit. Orang sering tidak tahan menanggung rasa kecewa, mereka berusaha membuang jauh-jauh sumber kekecewaan. Sekilas nampak tidak ada masalah, tetapi setiap saat berada dalam kondisi rawan. Perasaan itu mudah bangkit lagi dengan rasa sakit yang lebih perih. Dan yang demikian tidak dikehendaki Islam. Islam menghendaki kekecewaan itu menghilang perlahan-lahan secara wajar. Sehingga kita bisa mengambil jarak dari sumber kekecewaan dengan tidak kehilangan obyektivitas & kejernihan hati, kita menjadi lebih tegar, meskipun proses yang dibutuhkan untuk menghapus kekecewaan lebih lama.
Kalau anda merasa kecewa, periksalah niat anda. Dibalik yang dianggap baik, mungkin ada niat yang tidak lurus. Periksalah motif-motif yang melintas dalam batin. Selama peminangan hingga saat menunggu jawaban. Kemudian biarkan hati memproses secara wajar sampai menemukan kembali ketenangan secara mantap.
Tetapi kalau jawaban yang diberikan oleh keluarga wanita sesuai harapan, berbahagialah sejenak. Bersyukurlah. Insya Allah kesendirian yang dialami dengan menanggung rasa sepi sebentar lagi akan menghapus kepenatan selama di luar rumah. Insya Allah sebentar lagi.
Tunggulah beberapa saat. Setelah tiba masanya, halal bagi anda untuk melakukan apa saja yang menjadi hak anda bersamanya. Akan tiba masanya anda merasakan kehangatan cintanya. Kehangatan cinta wanita yang telah mempercayakan kesetiaannya kepada anda. Setelah tiba masanya, halal bagi anda untuk menemukan pangkuannya ketika anda risau.
Selama menunggu, ada kesempatan untuk menata hati. Melalui pernikahan Allah memberikan banyak keindahan & kemuliaan. Wanita boleh menawarkan Islam memberikan penghormatan yang suci kepada niat & ikhtiar untuk menikah. Nikah adalah masalah kehormatan agama, bukan sekedar legalisasi penyaluran kebutuhan biologis dengan lawan jenis. Islam memperbolehkan kaum wanita untuk menawarkan dirinya kepada laki-laki yang berbudi luhur, yang ia yakini kehormatan agamanya, dan kejujuran amanahnya menjadi suaminya. Dan Khadijah r.a atas teladan bagi wanita yang bermaksud untuk menawarkan diri.
Sikap menawarkan diri menunjukkan ketinggian akhlaq & kesungguhan untuk mensucikan diri. Sikap ini lebih dekat kepada ridha Allah & untuk mendapatkan pahala-Nya, Allah pasti mencatatnya sebagai kemuliaan & mujahadah yang suci. Tidak peduli tawarannya diterima atau ditolak, terutama kalau ia tidak mempunyai wali. Insya Allah, jika sikap menawarkan diri dilakukan dengan ketinggian sopan santun, tidak akan menimbulkan akibat kecuali yang maslahat. Seorang laki-laki yang memiliki pengetahuan yang mendalam pasti akan meninggikan penghormatan seperti ini, kecuali laki-laki yang rendah & tidak memiliki kehormatan, kecuali sekedar apa yang disangkanya sebagai kebaikan.
Imam Bukhari menceritakan cerita dari Anas r.a ada seorang wanita yang datang menawarkan diri kepada Rasulullah SAW dan berkata : "Ya Rasulullah! Apakah baginda membutuhkan daku?" Putri Anas yang hadir & mendengarkan perkataan wanita itu mencela sang wanita yang tidak punya harga diri & rasa malu, "Alangkah sedikitnya rasa malunya, sungguh memalukan, sungguh memalukan." Anas berkata kepada putrinya : "Dia lebih baik darimu, Dia senang kepada Rasulullah SAW lalu dia menawarkan dirinya untuk beliau!"

Rabu, 17 Februari 2010

Dia Rasulullah S.A.W insan yang terpuji

Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan dari Anas bin malik, Rasulullah shollallahu 'alahi wa sallam bersabda, "Alangkah rindunya aku untuk berjumpa dengan saudara-saudaraku." Lalu seorang sahabat bertanya, "Bukankah kami-kami ini saudaramu ya Rasul?" Rasul menjawab, "Benar, kalian adalah sahabat-sahabat/saudaraku. Adapun yang kumaksud adalah dengan saudara-saudaraku itu adalah kaum yang datang sesudahku dan beriman kepadaku padahal mereka tidak pernah berjumpa denganku."
SubhanAllah... Dari ucapannya melalui hadits di atas, beliau sebegitu rindunya pada kita-kita ini ummatnya yang hidup jauh dari masanya dan rindunya itu menurut saya adalah sebuah penghargaan untuk kita. Beliau menghargai kita karena sampai saat ini kita masih beriman padanya walau tanpa pernah sekalipun berjumpa secara langsung menatap wajahnya. Begitulah Rasulullah manusia special yang dimulaikan Allah dengan segala budi pekertinya yang amat luhur dan terpuji, sesuai dengan namanya "Muhammad" yang memiliki arti "insan yang terpuji".
Di sisi lain beliau juga tidak hanya rindu pada kita ummatnya, tapi sangat peduli. Coba saja kita ingat cerita pada akhir hidupnya ketika ajal menjelang, beliau amat mempedulikan ummatnya. Pada detik-detik terakhir ruh akan lepas dari raga, lisannya berucap "ummati...ummati...ummati". Sungguh peristiwa itu sebuah pemandangan diluar kebiasaan manusia umum, disela-sela rasa sakit, beliau Nabi shollallahu 'alahi wa sallam. masih sempat terfikir akan keadaan ummatnya selepas beliau wafat. Bayangkan...andai kita saat itu sempat menyaksikan peristiwa tsb, sudah pasti itu akan menjadi salah satu peristiwa yang amat mengharukan dalam sejarah hidup kita.
Masih dalam keadaan sakaratul mautnya, dari peristiwa itu juga kita bisa lihat kecintaan Rasulullah pada ummatnya. Saat badan mulai dingin, kaki dan dadanya sudah tidak bergerak lagi, dari bibir yang senantiasa basah menyebut asma-Nya, terucap sebuah permohonan yang amat memilukan hati "Ya...Allah, dasyat nian maut ini. Timpakan saja semua maut ini (baca:rasa sakitnya) kepadaku, jangan pada ummatku". SubhanAllah...sungguh terpuji akhlaqmu ya rasul.
Tapi apa yang terjadi saat ini ?! mungkin di antara kita masih ada yang biasa-biasa saja terhadap Rasulullah. Sholawat jarang terlantun dari lisan dan kerap kali meninggalkan sunnah-sunnahnya. Bukan kah sejatinya kita pun merasa rindu dan berterima kasih padanya dengan memperbanyak sholawat dan selalu berusaha menjalankan sunnah-sunnahnya dengan baik. Karena bisa dibayangkan keadaan kita saat ini tanpa Rasulullah hadir di dunia ini, pastinya kita akan hidup dalam kegelapan, arah tujuan hidup tidak jelas dan akhlaq kita pun akan jauh dari nilai-nilai kemuliaan.
Pada hadits lain Rasulullah shollallahu 'alahi wa sallam bersabda : "Manusia yang paling mengabaikan aku, adalah orang yang apabila disebut namaku dihadapannya, dia tidak bershawat kepadaku. Shalawat kepadaku dan kepada keluargaku menghilangkan kemunafikan". Oleh karena itu mari kita perbanyak bersholawat pada Rasulullah ! seperti yang sudah sama-sama kita tau bahwa sholawat akan mendatangkan syafa'at di Yaumil Akhir nanti ?! jelasnya syafa'at itu adalah pertolongan. Nanti di kala amal baik kita kurang dan karena sebab itu kita tidak memenuhi syarat untuk masuk ke syurga. Tapi bila kita mendapat syafa'atnya, keadaannya akan lain...kita akan menjadi orang yang beruntung bisa terhindar dari jilatan api neraka yang amat panas.
Kembali pada hadits yang pertama tadi di atas. Ketika pertama kali saya mengetahui hal itu, rasa kagum kian bertambah pada Rasulullah dan tak berhenti hanya di situ, banyak lagi kisah-kisah dari perjalanan hidup beliau yang amat memukau. Salah satunya sekelumit kisah yang akan saya ceritakan ini, yaitu perjalanan Isra Mi'raj baginda Nabi Muhammad S.A.W dimana kala itu Nabi berjumpa dengan Allah S.W.T. dan berdialog langsung dengan-Nya.
Dialog tsb diabadikan di dalam bacaan Sholat pada bacaan Tahiyyat. Berikut ini potongan cerita perjalanan nabi pergi menuju langit ke Tujuh (Sidratul Muntaha). Perjalanan beliau kesana mengendarai Buraq dan pada akhir perjalanan nabi menjadi hanya seorang diri untuk masuk menuju ke Sidratul Muntaha, pasalnya para malaikat tidak mampu lagi mengantarkannya, bahkan ketika malaikat Jibril diminta untuk mengantar, ia berkata "Aku tidak mau ikut lagi, sebab kalau aku ikut, sayapku akan terbakar".
Sebelum rasulullah sampai ke tempat itu, beliau menyaksikan kebesaran Allah yang meliputi Langit dan Bumi. Lalu setibanya rasul disana, beliau pun melakukan penghormatan dengan berucap "Attahiyyatul mubarakatush showatuth thayyibatul lillah" artinya : "Segala Kehormatan, Keberkahan, Kebahagian dan Kebaikan hanya milik Allah saja. Lalu Allah berkata pada rasulullah "Assalamu'alaika ayyuhan nabiyyu warahmatullahi wabarakatuh" artinya : "Salam Rahmat dan Berkah-Nya aku tujukan kepadamu wahai nabi (nabi muhammad)". Bisa kita bayangkan, betapa bahagianya nabi muhammad mendapat salam langsung dari Allah SWT.
Tapi setelah Rasulullah mendengar salam dari Allah, apa yang terjadi selanjutnya...??? ini yang membuat saya terkagum-kagum, ketika Allah memberikan salam-Nya pada Nabi dengan salam itu tadi, Nabi tidak begitu saja ingin berbahagia sendiri, tapi ia ingat pada ummat-ummatnya. Lalu Nabi pun berucap pada Allah "Assalamu'alaina wa'ala ibadillahi sholihin" artinya : "Salam Keselamatan semoga tetap tercurah untuk hamba-hamba yang Sholeh", melalui jawabannya itu Rasulullah tidak menginginkan kesejahteraan dari salam Allah tadi dilimpahkan hanya pada dirinya saja, tapi ia ingin menyebarkan kesejahteraan itu kepada semua hamba-hamba Allah yang sholeh. SubhanAllah....begitulah kecintaan Rasulullah pada ummat-ummatnya.
Dari kisah-kisah di atas dan kisah-kisah lain dari perjalanan hidup Rasulullah, sebagai manusia yang masih mau mendengarkan hati nurani, pastilah akan terkagum-kagum. Terutama kita sebagai seorang muslim harus merasa berterima kasih pada baginda Nabi Muhammad shollallahu 'alahi wa sallam dengan memperbanyak sholawat serta selalu berusaha menjalankan sunnah-sunnahnya dengan baik, dengan harapan akan mendapat syafa'atnya kelak nanti di yaumil akhir.
Bila diluar sana ada sekian banyak orang yang melecehkan dan menghina Rasulullah, saya yakin mereka sedang melawan hati nuraninya yang dengan sengaja menegatifkan (negative thinking) cara pandang dan berfikirnya ! kenapa begitu, pastinya mereka memang membaca kisah yang sebenarnya dan secara hati nurani, awalnya mereka juga terkagum akan pribadi yang menawan dari Rasulullah. Tetapi karena ada faktor-faktor tertentu hingga membuat mereka berlaku tidak senonoh seperti itu terhadap kanjeng Nabi Muhammad shollallahu 'alahi wa sallam dan tentu saja atas tindakan mereka itu ummat muslim diberbagai belahan dunia yang menyaksikan hal tsb menjadi amat berang - marah sekali tidak terima sang panutannya itu dihina.
Begitu pun saya sama dengan ummat muslim lainnya amat kesal dan marah sekali pada mereka yang telah menghina baginda Nabi Muhammad shollallahu 'alahi wa sallam dan dalam suasana hati yang panas, saya inginnya Allah S.W.T mengutuk dan melaknat mereka ! tapi bila masih mungkin, terangilah hati nurani mereka ya Allah dengan cahaya-Mu agar mereka teguh dalam melihat kebenaran, aamiin.
Meskipun demikian bila toh Nabi Muhammad hidup dimasa kini dan mendengar atau bahkan melihat sendiri dihinaan yang ditujukan padanya, kekasih Allah yang mulia itu (baca:Nabi Muhammad) pastinya akan sangat arif sekali menyikapi hal itu. Seperti kisah ini, ketika itu nabi shollallahu 'alahi wa sallam dilempari dengan kotoran hewan dan beliau dikatai dengan sebutan "gila". Malaikat jibril yang mendengar hinaan itu, membuatnya marah besar, konon sampai berkata pada Rasulullah...ia akan memindahkan gunung untuk ditimpakan pada mereka yang telah mengina Nabi ! tapi Rasulullah tidak tertarik dengan tawaran itu dan dengan tersenyum beliau berkata "sudahlah jibril, tidak apa-apa aku ikhlas. Mereka bersikap seperti itu, hanya karena tidak mengerti".
SubhanAllah...begitu luhur budi pekertinya ! sampai dunia berakhir nanti, niscaya tidak akan ada orang yang mampu menandinginya. Mari kita bersholawat padanya "Allahumma sholli wassalim 'ala saidina Muhammadin wa 'ala ali saidina Muhammad"